Pages

Tag Cloud

dede. Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 23 April 2013

Analisis Novel




A.  Analisis Data

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis strukturalisme genetik terhadap novel ‘Ketika Cinta Bertasbih 1’ karya Habiburrahman El Shirazy. Selanjutnya analisis strukturalisme genetik dalam penelitian ini dapat diformulasikan sebagai berikut. Pertama, peneliti melakukan analisis struktur intrinsik novel ‘Ketika Cinta Bertasbih 1’ baik secara parsial maupun secara keseluruhan (totalitas). Kedua, peneliti melakukan analisis terhadap latar belakang soaial kelompok pengarang. Ketiga, melakukan analisis terhadap kondisi eksternal pengarang novel “Ketika Cinta Bertasbih 1”
Berdasarkan analisis tersebut, peneliti dapat mencari beberapa premis khusus yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan premis umum sebagai kesimpulan. Adapun uraian hasil analisis strukturalisme genetik novel “Ketika Cinta Bertasbih 1” adalah sebagai berikut:

a.       Struktur Intrinsik Novel Ketika Cinta Bertasbih 1

1.      Tema
Tema adalah persoalan yang menduduki tempat utama dalam karya sastra. Tema dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah tema yang sangat menonjol dan tema minor adalah tema yang tidak menonjol.
Berdasarkan pengertian di atas, maka tema yang muncul dalam novel “Ketika Cinta Bertasbih 1” adalah sebagai berikut:
1)      Tema Mayor
Novel ‘Ketika Cinta Bertasbih 1’ memiliki tema mayor yaitu tentang cinta dan pengorbanan seorang pemuda untuk mencari uang demi tanggung jawab terhadap keluarganya. Tema ini muncul karena sejak awal hingga akhir cerita tokoh utama Khairul Azzam digambarkan sangat rajin bekerja, memasarkan tempe-tempe ke kalangan ibu-ibu asal Indonesia yang menetap di Mesir. Dia juga menerima pesanan bakso untuk acara-acara yang diselenggarakan oleh KBRI. Karena seluruh waktunya lebih banyak digunakan untuk membuat tempe dan berjualan bakso, maka kuliahnya agak terlantar. Sehingga sudah sembilan tahun dia mengambil S-1 di Universitas Al-Azhar tapi belum lulus juga.
Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa pengorbanan dan perjuangan hidup yang dialami Azzam yaitu menjadi penjual tempe dan bakso di Mesir mewarnai hampir seluruh isi novel. Pekerjaan itu dimulai ketika Azzam baru setahun menjadi mahasiswa Al-Azhar dikarenakan ayahnya meninggal dunia dan rasa tanggung jawabnya terhadap ibu dan adik-adiknya, sehingga ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk berusaha mencari uang dari pada menyelesaikan kuliahnya. Tapi ia sangat ikhlas dan tulus melakukan semua pekerjaan itu, ia tidak pernah mengeluh sedikit pun bahkan ia sadar dengan cara inilah Allah mencintainya dan ia termasuk menjadi mahasiswa cerdas. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut:
…………………………………………….…………………………………………………….
“Saya memang harus bekerja keras Pak. Bagi saya ini bukan beban. Saya tidak merasakan sebagai beban . meskipun orang lain mungkin melihatnya sebagai beban. Saya memang harus bekerja untuk menghidupi adik-adik saya di Indonesia. Ayah saya wafat saat saya baru satu tahun kuliah di Mesir. Saya punya tiga adik. Semuanya perempuan. Saya tidak ingin pulang dan putus kuliah di tengah jalan. Maka satu-satunya jalan adalah saya harus bekerja keras di sini. Jadi itulah kenapa saya sampe jualan tempe, jualan bakso, dan membuka jasa katering”. (Habiburrahman, 2008:70).
……………………………………………...

Setelah setahun menjadi mahasiswa di Al-Azhar Azzam merupakan salah satu mahasiswa cerdas itu terbukti dengan nilai yang ia dapat yaitu Jayyid Jiddan (lulus dengan sempurna), namun setelah itu ia menerima bahwa ayahnya meninggal karena kecelakaan. Karena ia merupakan anak tertua dari empat bersaudara maka ia menjadi tulang punggung keluarganya. Semua cita-citanya ia abaikan dan lebih memfokuskan diri menjadi penjual tempe dan bakso. Bahkan orang-orang lebih mengenalnya sebagi penjual tempe dan bakso daripada sebagai mahasiswa.
…………………………………………….………………………………………………………………………………………………………………….
Kak Azzam tercinta, Aku sendiri masih ingat surat kakak ketika kakak berhasil naik tingkat tahun pertama di Al Azhar. (Surat itu masih kusimpan baik-baik Kak). Dalam surat itu kakak menjelaskan kepada ayah, bahwa kakak adalah satu-satunya mahasiswa dari Indonesia tingkat pertama yang meraih predikat jayyid jiddan, atau Sangat Baik. Saya masih ingat Kak, begitu membaca surat kakak, ayah langsung sujud syukur dan menangis haru dan bahagia. Ayah sangat bangga. Ayah langsung meminta ibu memasak enak dalam porsi besar. Malam harinya ayah mengundang tetangga kanan kiri untuk syukuran. Saat ini aku juga sangat bangga pada Kakak.(Habiburrahman, 2008:335-336)
…………………………………………….…………………………………………………………………………………………………………………
Malam itu, di kamarnya yang berada di sebuah apartemen, tepat di mana ada dua ekor kucing yang sedang mendendangkan lagu-lagu cinta, ia masih juga belum istirahat dari pekerjaannya. Sementara teman-temannya satu rumah sudah lama larut bermesraan dengan mimpi indahnya masing-masing. Azzam masih sibuk berkutat dengan kacang kedelainya yang telah ia beri ragi. Dengan penuh kesabaran ia harus membungkusnya agar menjadi tempe.(Habiburrahman, 2008:130-131)
………………………………………………………………………………..…………………………………………….............................................
Wajahnya tampak lelah. Kedua matanya telah merah. Namun sepertinya ia tak mau menyerah. Dalam kondisi sangat letih, ia harus tetap bekerja. Ia tak mau kalah oleh keadaan. Ia tak mau semangatnya luntur begitu saja, oleh rasa kantuk yang menderanya. Bila sudah begitu ia selalu ingat perkataan Al Barudi yang selalu melecut jiwanya. Orang yang memiliki semangat. Ia akan mencintai semua yang dihadapinya. (Habiburrahman, 2008:132).

Dan sekarang pun Azzam berada di Alexandria guna memenuhi tugasnya sebagai pembuat dan
penjaga Nasi timlo Solo selama enam hari. Dan selama itu pula ia libur dari dunia perkuliahan.
…………………………………………….………………………………………………………………………………………………………………….
Awalnya adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang mengadakan acara “Pekan Promosi Wisata da Budaya Indonesia di Alexandria”. Beberapa acara pagelaran budaya digelar di Auditorium Alexandria University selama satu pekan. Selama itu juga ada promosi masakan khas Indonesia. Ada empat makanan yang dipromosikan yaitu, Nasi Timlo Solo, Sate Madura, Soto Makasar, dan Empek-empek Palembang. Dan Elianalah yang menjadi penanggung jawab promosi makanan khas Indonesia itu. Sementara Azzam, dikenal sebagai mahasiswa paling mahir memasak. (Habiburrahman, 2008:43).

Dan dari pekerjaan inilah Azzam yang seorang mahasiswa yang lebih dikenal sebagai penjual tempe bertemu dengan Eliana Pramesti Alam seorang putri Duta Besar Republik Indonesia di Mesir yang terkenal dengan kecerdasan dan kecantikannya ke seantero Mesir dan ia merupakan pelanggan Azzam yang selalu memberikannya keuntungan besar.
…………………………………………….………………………………………………………………………………………………………………….
Sudah hampir delapan tahun Azzam melakoni kehidupannya sebagai penjual tempe dan bakso. Dan kerja kerasnya selama ini membuahkan hasil yang luar biasa karena, adik-adiknya telah berhasil dan bekerja sehingga ia tidak lagi harus membanting tulang dan tugasnya hanya satu konsentrasi pada kuliah agar ia bisa pulang secepatnya untuk berkumpul dengan keluarganya yang sudah sembilan tahun berpisah dengannya. Itulah pesan adik-adiknya melalui surat.
…………………………………………….………………………………………………………………………………………………………………….
Menjumpai Kakakku Tercinta
Abdullah Khairul Azzam
Di Bumi Para Nabi
Assalamu’alaikum wa Rahmatulla wa Barakatuh. Dari pojok Kota Kartasura tercinta kami tiada henti mengirimkan doa, semoga Kak Azzam senantiasa sehat, terjaga dari segala keburukan, dan berada dalam selimut rahmat-Nya siang malam. Amin.
Kak, alhamdulillah, kami semua di rumah baik, sehal wal afiyat, berlimpah rahmat Allah. Ibu alhamdulillah baik dan sehat. Beliau sudah sangat rindu pada Kakak. Husna sendiri juga sehat. Dua minggu yang lalu Husna menerima ijazah profesi, Husna sudah bisa prektik sebagai psikolog. Segala puji bagi Allah Swt. Ini tak lepas dari jasa Kakak. Lia sudah menyelesaikan D.2. PGSD-nya. Ia kini mengajar di SDIT Al Kautsar Solo. Dan Sarah masih belajar di Pesantren Al-Quran di Kudus. Terakhir Husna ke Kudus ia sudah hafal Juz 27, 28, 29, dan 30.
Kak Azzam tercinta, Selama delapan tahun ini sejak ayah berpulang ke rahmatullah, engkau telah menunaikan kewajibannmu dengan baik. Lihatlah kami, kini adik-adikmu sudah bisa engkau banggakan. Kami sangat berterima kasih dan bangga kepadamu Kak. Selama ini kami tahu engkau tidak lagi memikirkan dirimu Kak. Studimu di Al Azhar yang seharusnya bisa selesai dalam empat tahun, bahkan sampai sekarang, belum juga selesai. Padahal kau sudah sembilan tahun di Mesir. Kami tahu bahwa engkau mengorbankan dirimu dan segala idealismemu demi membiayai hidup dan sekolah kami.
……………………………………………...
Kak Azzam tercinta, Kami tahu sebentar lagi kakak akan menghadapi ujian. Sudah saatnya kakak menata masa depan kakak. Kami berharap saat ini kakak kemMesir konsentrasi ke studi kakak. Kakak harus segera selesai dan segera pulang. Kami semua sudah rindu. Sementara jangan pikirkan kami dulu. Insya Allah kami berkecukupan. Aku sendiri sejak dua bulan ini sudah menjadi pengisi rubrik psikologi remaja di Radio JPMI(Jaya Pemuda Muslim Indonesia) Solo, juga diminta sebgai asisten dosen di UNS. Dik Lia sudah menjadi pengajar tetap di SDIT. Gaji kami berdua insya Allah cukup untuk hidup layak. Jika Kakak ada rezeki dialokasikan saja untuk membeli tiket pulang dan mungkin membeli buku-buku refrensi yang pasti akan sangat Kakak perlukan jika nanti mengamalkan ilmu di Tanah Air.
Kak Azzam tercinta, Harapan kami Kakak bahagia membaca surat ini. Lia titip salam. Salam rindu dan kangen tiada tara katanya. Sarah titip kecupan cinta katanya. Ibu titip setetes air mata cinta dan bangga untukkmu kakakku tercinta. Ini dulu ya. Selamat menempuh ujian. Semoga lulus dan segera pulang ke Tanah Air. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan taufik-Nya kepada Kakak. Amin
Azzam membaca surat dari adiknya dengan airmata berderai-derai.
……………………………………………...
Tinggal satu mata kuliah, Tafsir Tahlili. Dan ia akan mempelajarinya dengan penuh konsentrasi. Selesai ujian ia akan focus mencari dana untuk pulang. (Habiburrahman, 2008:333-337).


Dengan kesabaran, kerja keras, dan memohon kepada Sang Pencipta ia berhasil menggapai impiannya. Apa yang ia harapkan selama ini sudah terwujud dan kini adik-adiknya sudah berhasil dan bahagia. Ia sangat bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah SWT kepada diri dan keluarganya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tema mayor novel ‘Ketika Cinta Bertasbih 1’ adalah tentang cinta dan pengorbanan seorang pemuda untuk mencari uang demi tanggung jawab terhadap keluarganya.




2) Tema Minor
Selain tema mayor, dalam novel “Ketika Cinta Bertasbih 1” juga dapat ditemukan tema minor. Berdasarkan hasil analisis, beberapa tema minor yang terkandung di dalamnya antara lain:
a)      Kebesaran Allah
Karena dilihat dari latar belakang pengarang novel “Ketika Cinta Bertasbih 1” ini adalah orang yang taat kepada Allah, sudah smestinya ia menggambarkan bagaimana Kebesaran Allah SWT dan tanda-tanda dari kebesarannya. Dan tema ini dapat kita lihat dari kutipan novel di bawah ini.

…………………………………………….…………………………………………………………………………………….……….
Ia edarkan pandangannya ke kiri dan ke kanan. Laut itu terlihat begitu luas dan kapal itu begitu kecil. Padahal di dalam kapal itu mungkin ada ratusan manusia. Ia jadi berpikir, alangkah kecilnya manusia. Dan alangkah Maha penyayangnya Tuhan yang menjinakkan lautan sedemikian luas supaya tenang dilalui kapal-kapal berisi manusia. Padahal, mungkin sekali di anatara manusia yang berada di dalam kapal itu terdapat manusia-manusia yang sangat durhaka pada Tuhan. Toh bagitu, Tuhan masih saja menunjukkan kasih saying-Nya. Ia jinakkan lautan, yang jika Ia berkehendak, Ia bisa menitahkan ombak untuk menenggelanmkan kapal itu dan bahkan meluluhlantakkan seluruh isi Kota Alexandria.(Habiburrahman, 2008:45)
……………………………………………..................................................................................................................................
Keteraturan Alam semesta, langit yang membentang tanpa tiang, pergantian siang dan malam, lautan luas membentang, gunung-gunung yang menjulang, awan yang membawa air hujan, air yang menumbuhkan tanam-tanaman, proses penciptaan manusia sembilan bulan di rahim, binatang-binatang yang menjaga ekosistem dan keteraturan-keteratuan lainnya, itu semua menunjukkan bahwa ada Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna. Dzat yang kekuasaan-Nya tidak ada batasnya. Dzat yang menciptakan itu semua. Dan Dzat itu adalah Tuhan Penguasa Alam semesta.
…………………………………………………………………………………………………………………………………………...
Matahari terbit dari timur dan tenggelam di barat, dengan sangat teraturnya. Matahari tak pernah terlambat terbit. Matahari juga tak pernah bermain-main, berlari-lari ke sana kemari di langit seperti anak kecil bermain bola atau petak umpet. Ia beredar di jalan yang ditetapkan Tuhan untuknya. Dan selalu tenggelam di ufuk barat tepat pada waktunya. Keteraturan ini menunnjukkan, Tuhan Yang Menciptakan alam semesta ini. (Habiburrahman, 2008:47-48)


Demikianlah tanda-tanda di antara kebesaran Allah, yang digambarkan oleh pengarang dalam novel “Ketika Cinta Bertasbih 1”

b)      Ajaran Islam tentang cinta

Sebagaimana dengan judul novel ini adalah “Ketika Cinta Bertasbih”, namun dalam novel ini digambarkan tentang keutamaan cinta kepada Allah daripada kepada manusia dan cinta sesamA. Sebagaimana terlihat dalam kutipan novel berikut :
…………………………………………….………………………………………………………………………………………………….
“Alhamdulillah. Untung saya keburu pulang”. “Lho kok malah merasa untung”. “Iya soalnya jika dapat ciuman khas Prancis dari Mbak, bagi saya bukanlah jadi hadiah, tapi jadi musibah”! (Habiburrahman, 2008:73)

Berdasarkan penggalan novel tersebut bahwa pengarang menjelaskan bahwa tidak ada istilah pacaran dalam Islam yang bisa menimbulkan khalawat atau berdua-duaan dengan lawan jenis. Di sini juga digambarkan, jika seseorang yang sudah saatnya untuk membina rumah tangga lebih baik untuk melamar langsung tanpa pacaran yang hanya akan membuka jalan untuk berkhalawat dan mendatangkan dosa, tema minor ini diperkuat berdasarkan kutipan novel beriktu ini:

…………………………………………………………..……………………………………………………………………………………..
“Baiklah Ustadz. Saya ingin minta bantuan Ustadz untuk melamar seseorang untuk saya”. Kata Azzam dengan suara bergetar.
“Oh itu. Begitu saja kok malu. Kamu memang sudah saatnya kok Rul”.
………………………………………………………………………..
“Aku akan membantu sebisaku. Siapa nama gadis yang kau pilih itu. Dan siapa nama orangtuanya? Orang mana? Kalau di Al Azhar, tingkap berapa”? Ustadz Mujab melanjutkan.
Dengan mengumpulkan semua keberaniannya ia menjawab dengan suara bergetar. Dan degan hati bergetar pula,
“Namanya Anna Althafunnisa Putri Pak Kiai Lutfi Hakim. Asal Klaten. Kalau tidak salah sekarang sedang program
pascasarjana di Kuliyyatul Banat, Al Azhar”.
(Habiburrahman, 2008:123-124)
……………………………………………………………………………………………………………………………………………….
“Ass. Wr. Wb. Dik Anna, bagaimana Istikharahnya? Sdh ada kepastian? Td Ust. Furqan ngebel ke Ust. Mujab, katanya besok mau dolan. Mungkin menanyakan hasilnya”.
Ia tertegun sesaat, sesuatu yang nyaris dia lupakan, kini ditanyakan. Memang sudah tiga bulan yang lalu ia diberitahu Mbak Zulfa tentang keseriusan Furqan yang ingin mengkhitbahnya.
………………………………………………………………………..
Ia sama sekali tidak menemukan alasan untuk menolak. Namun juga belum mendapatkan kemantapan hati untuk menerimanya. Pikirannya masih terpaku pada tesisnya. Namun ia juga sadar bahwa waktu terus berjalan, dan usianya sudah hampir seperempat abad. Memang sudah saatnya ia membina rumah tangga, meyempurnakan separo agama. (Habiburrahman, 2008:156-157)
………………………………………………………………………..………………………………………………………………………..
“Begini Kak, beberapa hari yang lalu aku diajak Kak Tiara ke Hadiqah Dauliyah. Dia menceritakan masalah yang saat ini dihadapinya kepadaku. Kak Tiara cerita, ia sedang menghadapi masalah serius. Aku diminta untuk tidak membuka hal ini kepada siapapun juga. Kak Tiara mendapat telpon dari ayahnya di Aceh yang memberitahu bahwa Kak Tiara dilamar oleh seorang Ustadz. Namanya Ustadz Zulkifli. Dia adalah salah seorang ustadz di pesantren Kak Tiara dulu. (Habiburrahman, 2008:321)
………………………………………………………………………..………………………………………………………………………..
Ps: Husna sudah saatnya menikah. Kakak sebagai wali Husna bisa memikirkan hal ini. Husna sepenuhnya patuh pada kakak.
………………………………………………………………………..
“Dalam hati ia berkata, “Insya Allah, Dik, kakak akan segera pulang. Begitu pulang kakak akan menikah secepatnya. Umur kakak toh sudah hampir kepala tiga. Setelah itu kakak akan menikahkan kalian dengan pemuda yang saleh, bi iznillah”,
“Kang sudah selesai membaca suratnya”? Tanya hafez.
“Sudah”, jawab Azzam sambil memandang Hafez.
“Kang”.
“Iya Fez, ada apa”?
“Aku ingin menagih janji Sampeyan”.
“Janji apa Fez”?
“Itu, janji Sampeyan untuk membicarakan pada Fadhil tentang keinginanku untuk menyunting Cut Mala. (Habiburrahman, 2008:415-416)

c) Gambaran tentang Al Azhar

Setting tempat dalam novel Ketika Cinta Bertasbih 1 adalah Cairo Mesir, dan dalam novel ini juga diceritakan tentang perjalanan hidup seorang pemuda yang menimba ilmu di Al Azhar. Berdasarkan setting tempat novel tersebut pengarang menggabarkan tentang kampus Al Azhar seperti pada kutipan cerita di bawah ini:

…………………………………………….……………………….……………………………………………………………………...
Usai shalat Zuhur di Masjid Al Azhar, Azzam melangkahkan kakinya menuju kampus Fakultas Ushuluddin, Al Azhar University. Ia keluar masjid lewat pintu utara. Menyusuri trotoar Al Azhar Street yang melintas tepat di utara masjid. Jalan raya itulah yang memisahkan Masjid Al Azhar dengan kantor Grand Syaikh Al Azhar yang lama, kantor yang biasa disebut Masyikhatul Azhar. Masjid Al Azhar, Universitas Al Azhar, pasar tradisional Al Azhar, serta Mustasyfa Husein berada di sebelah selatan jalan.
Sedangkan Masyikhatul Azhar yang lama, Masjid Sayyidina Husein, Khan Khalili, dan toko buku paling populer di sekitar kampus Al Azhar yaitu Dar El Salam berada di sebelah utara jalan. Lalu lintas cukup padat. Untuk menghubungkan kawasan utara dan selatan terowongan bawah tanah yang tepat berada di sebelah barat Masjid Al Azhar. Juga ada jembatan penyebrangan yang berada di sebelah utara toko buku Dar El Salam. Kawasan ini, semuanya, dikenal dengan Maydan Husein.
Masjid Al Azhar, dan kampus Universitas Al Azhar yang lama di kenal berada di kawasan Maydan Husein. Sedangkan kampus Al Azhar yang baru termasuk rektorat Al Azhar berada di Madinat Nasr atau dikenal juga dengan sebutan Nasr City. Untuk kantor Grand Syaikh Al Azhar yang baru, berada tepat di sebelah selatan Daarul Ifta’. (Habiburrahman, 2008:167-168)


d)  Keindahan Mesir dan Kota Alexandria

Tema ini muncul karena sejak awal cerita, pengarang menceritakan keindahan Mesir terutama di Kota Alexandria

…………………………………………….………………………………………………………………………………………………….
Kota Alexandria sore itu tampak begitu memesona. Cahaya mataharinya yang kuning keemasan seolah menyepuh atap-atap rumah, gedung-gedung, menara-menara, dan kendaraan-kendaraan yang lalu lalang di jalan. Semburat cahaya kuning yang terpantul dari riak gelombang di pantai menciptakan aura ketenangan dan kedamaian.
Di atas pasir pantai yang putih, anak-anak masih asyik bermain kejar-kejaran. Ada juga yang bermain rumah-rumahan dari pasir. Di tangan anak-anak itu pasir-pasir putih tampak seumpama butiran-butiran emas yang lembut berkilauan diterpa sinar matahari senja.
…………………………………………….....................................
Dari jendela kamarnya yang terletak di lantai lima Hotel Al Haram, ia menyaksikan sihir itu. Di matanya, Alexandria sore itu telah membuatnya seolah tak lagi berada di dunia. Namun di sebuah alam yang hanya dipenuhi keindahan dan kedamaian saja. (Habiburrahman, 2008:43).

e)  Persahabatan
Pesahabatan yang kokoh sehingga tercipta seperti keluarga sendiri hadir mewarnai tema novel ini, karena mereka sama-sama merasa sedarah, seperjuangan dan yang lebih mendalam mereka sebangsa dan setanah air yaitu berasal dari Bangsa Indoensia. Persahabatn yang terjalin dalam novel ini tampak pada penggalan novel di bawah ini.

…………………………………………………………………………………………………………………………………………
“Kang Azzam, ayo ke depan. Kita makan kibdah dulu. Fadhil beli kibdah untuk ganjal perut”!
“Wah boleh juga. Oh ya, minumannya sudah ada? Kalau belum ada biar saya masak air sekalian”. Tukas Azzam sambil merampungkan cuciannya.
“Oh ya Kang belum”, jawab Ali.
“Wah beli kibdah banyak sekali Dhil”, kata Azzam sambil duduk di samping Fadhil. Nanang , dan Ali juga sudah duduk mengitari kibdah yang diletakkan begitu saja di atas karpet beralaskan Koran.
“Ya Kang, ini sekaligus syukuran. Tadi saya mencetak dua gol dalam pertandingan”, jawab mahasiswa dari Aceh itu dengan wajah berseri.
…………………………………………………………………….
“Yang penting mana syukurannya untuk dua gol. Yang mencetak satu gol saja beli kibdah, lha yang dua gol”? Tukas Nanang dengan mimik menuntut.
”Beres. Setelah shalat Isya nanti aku beli firakh masywi. Yang di rumah tinggal menanak nasi saja”! Jawab Ali. (Habiburrahman, 2008:230-231)
……………………………………………................................................................................................................................
Di rumah Azzam suasana tegang belum hilang. Fadhil belum juga sadar sampai jam enam pagi.
“Bagaimana ini Kang”? Tanya Nanang cemas.
Azzam berfikir sebentar. Ia memang yang harus memutuskan. Sebab ia yang paling tua di rumah itu.
“Kita bawa ke rumah sakit. Kau cari taxi sana sama Ali. Fadhil biar aku yang tunggu”! kata Azzam.
“Baik Kang”.
Nanang dan Ali lalu keluar untuk mencari taksi. Lima belas menit kemudian mereka kemMesir dengan membawa taksi. Pagi itu juga fadhil mereka bawa ke Mustsdyfa Rab’ah El Adawea. Dokter yang memeriksa mengatakan, Fadhil harus dirawat di rumah sakit. (Habiburrahman, 2008:273-274)
……………………………………………................................................................................................................................
“Bagaimana keadaanmu Dhil”?
“Baik Kang. Tak ada yang perlu dicemaskan. Tapi aku perlu berbicara dengan Sampeyan tentang satu hal penting”. Jawab Fadhil.
“Sebentar Kang”, jawab Fadhil sambil memberi isyarat kepada adik-adiknya agar ia dan temannya meninggalkan kamar. Setelah keduanya keluar, Fadhil berkata,
“Bisa nggak Kang saya pulang sore ini”?
“Kenapa Dhil? Kau masih perlu perawatan?
“Terus terang Kang saya tidak punya uang. Adik saya juga. Kami tidak mungkin minta ibu kami di Indonesia”.
“Sudahlah kau jangan memikirkan hal itu dulu. Biar hal itu aku yang memikirkan, yang penting kamu sehat kemMesir. Ujian tidak lama lagi. Ingat itu”.
(Habiburrahman, 2008:289-290)


separador

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Mana tulisan terbaru e ne

Posting Komentar

Categories

Followers